Kamis, 18 April 2013

[cerpen] BEKAS LUKA

Huaaah, cerpen ini aku bikin semasa SMA dulu, udah lumayan jadul yak!
Tapi gapapa deh bukti kalo semasa SMA aku sedemikian nggak ada kerjaannya, sampe bisa-bisanya bikin beberapa cerpen menjelang tamat sekolah!




(gambar dari film animasi 5cm Per-Second)

“Vena, bangun sayang….udah siang nih, ntar kamu telat loh!” Suara dan tepukan lembut mama di pipinya membuat Vena perlahan membuka mata. Di luar sana tampak langit udah berwarna abu-abu menandakan segera datangnya sang pagi, hari baru pun dimulai lagi, dan sama seperti biasa, setiap pagi saat ia membuka mata, Vena merasakan samar sebuah perasaan hampa, tanpa ia ketahui sebabnya.
Tak lama kemudian Vena mandi, berpakaian, lalu berpamitan sama mama-papa begitu ia menghabiskan sarapannya.
“Ven, aku anterin kamu ya?” Sambut suara yang begitu dikenalnya begitu Vena keluar rumah.
“Ih, kamu bikin kaget aja! Kirain siapa…” Omel Vena sewot sambil menatap sebel Harry.
“Kok gitu aja marah? Nggak seru, ah….”
“Bukan marah, tau! Tapi kaget! Beda banget, kallleee…”
Harry tertawa mendengar ucapan Vena, ia tahu Vena emang paling pinter ngeles alias bersilat lidah.
Yeah, tawa itu…..Vena tertegun menatapnya.
“Ya udah, kalo gitu aku ambil mobil dulu, ya!” Selesai berkata Harry pun melesat menuju rumahnya yang emang cuma berjarak dua rumah dari rumah Vena, namun belum ada beberapa langkah ia berhenti lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas punggungnya, “Nih, buat kamu!” ia melemparkan sebuah benda yang secara refleks ditangkap Vena.
“Apaan, nih?” Vena menatap bengong sebuah toples kecil berisi ribuan origami dari kertas warna-warni yang kini ada ditangannya.
“Jimat.” Jawab Harry singkat dan mendengar ucapannya sontak meledaklah tawa Vena.
“Harry, kamu tuh aneh banget ya? Aku yang cewek aja nggak percaya sama yang kayak ginian, tapi kok kamu bisa-bisanya sih beli pernak-pernik kayak gini??” Tanyanya geli.
“Nggak sopan.” Dengus Harry, “Aku nggak beli, Ven. Ngapain buang-buang duit buat benda nggak penting.” Omelnya pura-pura marah.
“Jadi??”
“Aku buat sendiri, kalleee…nggak lihat apa jari-jariku nyaris keriting semua!” Seru Harry lagi, ia menggaruk-garuk kepalanya sementara wajahnya mulai memerah. Vena yang hampir aja ketawa lagi seketika menyadari betapa besar arti benda yang dipegangnya saat ini.
“Kamu emang aneh, Har. Tapi mungkin itulah yang buat aku suka sama kamu. Makasih banyak ya!” Ucapnya tulus sementara Harry mulai berbalik dan pergi menuju rumahnya.
Sepeninggal Harry, Vena tersenyum. Harry emang selalu punya kejutan kecil yang manis buat dia. Pernah juga suatu kali ia bela-belain nyari boneka lumba-lumba Cuma gara-gara Vena lagi suka nonton drama At The Dolphin Bay.
Kalo dipikir-pikir lagi mereka emang udah sangat mengerti satu sama lainnya. Kadang tanpa bicara mereka bisa saling tahu apa yang sedang dipikirkan oleh pasangannya. So, nggak heran kalo Vena sayang banget sama Harry begitu juga sebaliknya Harry juga sayang banget sama Vena. Nggak heran dong kadang teman-teman Vena suka iri dia diperhatiin banget sama cowok sekeren Harry!
Eh, sebuah pikiran tiba-tiba melintas membuyarkan lamunan Vena. Rasanya ada yang ketinggalan deh…apa ya……pikirnya, dan tepat pada saat itu mama muncul dari dalam rumah.
“Sayang, kamu pura-pura lupa minum obat lagi, ya??!” Serunya sambil menghampiri Vena. Tangan kanannya memegang segelas air dan tangan kirinya membawa tablet-tablet kecil berwarna orange dan putih yang langsung membuat Vena bergidik ngeri.
“Ma, hari ini nggak usah minum obat, ya?” Pintanya dengan wajah memelas.
“Eeh, mana boleh gitu… Heran mama, udah gede gini kok masih susah disuruh minum obat?!!”
“Tapi, Ma…. Vena udah nggak sakit lagi. Vena udah sehat!”
“Kok makin bandel aja sih? Ayo, nggak ada tapi-tapian!”
Yeah, akhirnya Vena menyerah kalah. Kalo udah berurusan sama mama, dia nggak bisa lagi ngomong apa-apa.
***
Dari awal jam kuliah tadi sesekali Sania menatap cemas teman disebelahnya.
“Ven, elo baik-baik aja kan?” tanyanya langsung begitu kelas usai. Tapi yang ditanya cuma menggeleng lemah.
“Beneran??” Tanya Sania lagi yang kali ini cuma mendapat balasan senyuman enggan.
“Gue nggak apa-apa kok..” Jawab Vena setengah bergumam seolah meyakinkan dirinya sendiri.
“Kita anterin pulang, ya?” Timpal Shinta, saudara kembar Sania. Emang kalo bicara tentang kesetia-kawanan duo ini jagonya. Seumur-umur rasanya baru kali ini Vena mendapat teman sebaik mereka, yeah…urutannya masih satu tingkat dibawah Harry, tentunya.
“Nggak usah repot-repot, Shin. Gue bisa pulang sendiri kok.” Jawab Vena ramah, “Beneran deh, gue udah sehat. Udah nggak apa-apa. Lihat, nih…” Lalu dengan gaya kocak Vena memutar-mutar badannya dihadapan si kembar, dan upss…hampir aja dia kepeleset!
“Biar aku aja yang nganterin dia pulang.” Ucap sebuah suara tiba-tiba. “Mau ya, Ven?” Tambah suara itu lagi kali ini sambil menatap Vena lekat. Vena terdiam, entah kenapa terhadap cowok yang satu ini Vena nggak tega menolak. Dia itu Tyo, teman satu jurusan juga. Tyo orangnya baik dan sabar. Dia nggak pernah bosan merhatiin Vena, nggak pernah mengeluh walaupun seringkali Vena nggak menanggapinya.
Singkat cerita, setengah jam kemudian mereka telah berada ditempat parkir. Tyo memutar arah untuk membukakan pintu buat Vena, dan tepat pada saat itulah Vena melihatnya. Harry! Tanpa sepengetahuan Tyo dari kejauhan ia melambai-lambaikan tangan memberi isyarat pada Vena.
“Tyo, maaf ya… tapi aku baru ingat kalo aku ada urusan mendadak!” Seru Vena tiba-tiba dan tanpa menunggu jawaban lagi ia berlari menuju Harry. Yup, nggak ada tawar-menawar lagi buat Vena kalo udah berkaitan dengan Harry, orang teristimewa di hatinya; sahabatnya, cinta pertamanya! Tinggalah sepasang mata Tyo mengawasi kepergiannya dengan tatapan sedih.
***
Malam ini Vena susah memejamkan mata. Biarpun udah satu jam mencoba tidur tapi kantuk tak jua menyerangnya. Entah kenapa hati Vena terasa sakit, dia ngerasa da yang nggak beres dengan dirinya. Rasanya ada suatu hal yang terlupakan. Satu hal yang entah apapun itu namun sepertinya sangatlah menyakitkan. Sayangnya sekeras apapun ia mencoba ia tetap nggak bisa mengingatnya. Yeah, semua pasti berhubungan dengan kecelakaan itu. Kecelakaan yang menurut cerita mama dialami Vena beberapa waktu yang lalu.
***
“Aku nggak ngerti deh… dari tadi kita mondar-mandir melulu, mall ini kan gede, jadi capek, tau! Emang kamu mau beli apaan, sih?” Tanya Harry sambil mengikuti langkah Vena dengan ekspresi ogah-ogahan.
“Udah deh, namanya juga cewek, kalo mau beli apa-apa aku nggak mau asal pilih, takutnya ‘ntar nyesel pas udah dirumah. Lagian kamu kan udah sering banget nemenin aku belanja, kok belum juga terbiasa, sih??” Jawab Vena santai berusaha membela diri, nggak dihiraukannya wajah manyun Harry.
“Emang kamu mau cari baju yang gimana??” Tanya Harry lagi.
“Yeah, aku juga belum tahu, sih....” Jawab Vena cuek. Tangannya menggapai berusaha mencubit Harry saat dilihatnya cowok itu mencibir sambil memutar-mutar bola matanya, tapi terlambat, dengan gesitnya Harry berkelit menghindari serangan Vena, dan tepat pada saat itulah perhatian Vena tertumbuk pada sebuah baju yang diapakai mannequin ditempat yang agak pojok. Serta merta ia melupakan kekesalannya dan dengan cepat memberi isyarat agar Harry mengikutinya. “Lihat deh, kayaknya baju itu lucu juga, menurut kamu gimana?”
“Yeah, lumayan juga….”
“VENAAA…!!!” Seru suara cempreng tiba-tiba yang nyaris membuat Vena menjatuhkan baju yang tengah dipegangnya. “YA AMPYUUN! UDAH LAMA BANGET YA KITA NGGAK KETEMU! APA KABAR, BUK??! IH, TAMBAH KEREN ELO SEKARANG, NGALAH-NGALAHIN MARSHANDA! EIT, JANGAN GE ER, YA!! NGOMONG-NGOMONG LAGI MILIH BAJU YA? YANG MANA? INI YA?? LUCU JUGA!! SUMPAH, GUE TUH KANGEN BANGET SAMA ELO!!!!” Andin lah pemilik suara tadi. Emang temen Vena yang satu ini kalo udah berkicau suka nggak kira-kira. Udah nggak pake titik-koma, volume nya pun diatas rata-rata. So, nggak heran kalo dalam sekejap mereka langsung jadi pusat perhatian.
“Eh, elo tuh sama sekali nggak berubah, ya!” Vena tertawa sambil mencubit gemas temannya tersebut. “gue juga kangen banget sama elo, Ndin! Kabar gue juga baik. Lo gimana??”
“Seperti yang elo lihat, Ven. Gue tambah cute aja kan!!? Hahaha…” Andin mulai kumat narsisnya. “By the way, elo kesini sama siapa?” Tanya Andin lagi sambil celingukan merhatiin sekeliling mereka.
“Sama Harry.”
“Harry? Pacar elo ya?? Yang mana, Ven???” Berondong Andin lagi dengan tingkat penasaran yang semakin bertambah dalam tiap kalimatnya. Sedangkan Vena melongo, ia bengong. Masa sih Harry yang segede gini nggak kelihatan sama Andin??
“Ini yang di sebelah gue lah…” Ucapan Vena terhenti begitu meyadari Harry emang nggak ada disana. “Loh, dia kemana ya? Pergi kok nggak bilang-bilang…”
“Emang orangnya gimana, Ven?” Tanya Andin lagi memotong gerutuan Vena.
“Dia pake kaos sama jaket putih, Ndin. Waktu elo teriak-teriak manggil gue dari ujung sana tadi dia masih disini, kok…”
“Ven, setahu gue dari pertama gue lihat tadi elo tuh udah sendiri…”
“Nggak. Gue sama Harry, kok…”
“Tapi dari tadi gue nggak lihat siapa-siapa!” Andin menatap lekat wajah Vena yang memucat. “Ven, lo kenapa??”
“Ndin..gue…gue cari dia dulu, ya!” Selesai berkata Vena melesat meninggalkan Andin yang berteriak memanggil-manggilnya dengan nada khawatir bercampur heran.
Harry kemana? Kemana dia??
Vena berteriak kalut didalam hati. Vena tahu rasa khawatirnya terlalu berlebihan, tapi dia sendiri nggak tahu kenapa rasa takut kehilangan itu seringkali datang, seolah-olah setiap saat ia bisa kehilangan Harry, dan seperti saat ini rasa takut itu datang tanpa kompromi, seolah keluar dari otaknya sendiri.
“Vena…?”
“Harry! Kamu dari mana aja? Dari tadi aku cemas nyariin kamu…” dengan perasaan luar biasa lega Vena menghampiri Harry. Ia tidak lagi memperhatikan sekelilingnya. Seolah semua adalah benda mati, dan yang ada disana cuma dia dan Harry yang berdiri termangu tak jauh dari tempat Vena berdiri, lalu dengan satu gerakan Vena menangkap dan memegang erat kedua tangan Harry.
“Kamu tadi kemana?? Kenapa tiba-tiba pergi?? Bahkan kamu nggak ngasih tahu aku kamu mau kemana…” Vena berkata setengah lega setengah marah.
“Maafin aku, Ven. Tadi aku ng…ke toilet.” Jawab Harry gugup.
“Tapi perasaan aku akhir-akhir ini kamu emang sering banget kayak gitu,” Ujar Vena lagi, “Contohnya aja kemarin waktu kita lagi jogging tiba-tiba aja kamu ngilang..”
Kan aku udah bilang kalo kemarin aku sakit perut, makanya pulang duluan…”
“Terus kemarinnya lagi kamu juga tiba-tiba ngilang ditengah acara ulang tahunnya Chika. Ditambah lagi hari ini, jangan bilang ya kamu sakit perut lagi!” Vena merengut, sedangkan Harry sendiri nggak terlihat berusaha nyari alasan maupun berusaha membela diri. Ia terdiam.
“Vena, kamu nggak boleh terus-terusan kayak gini. Aku….aku nggak bisa selamanya jagain kamu…” Gumam Harry lirih.
“Kok mulai lagi ngomong kayak gitu, sih? Sumpah ya, akhir-akhir ini kamu tuh aneh banget.” Potong Vena, tambah cemberut.
“Ya udah, anggap aja hari ini aku yang cari gara-gara. Tapi kamu jangan marah lagi, ya?” Ujar Harry akhirnya setelah beberapa saat terdiam, “Maafin aku, Ven…”
Mau nggak mau Vena tersenyum mendengar ucapan Harry tadi. Rasa sayang ternyata emang nggak bisa dikalahkan oleh amarah. “Ya, udahlah. Kita pulang sekarang, ya…!”
Harry mengangguk, masih menatap Vena dengan ekspresi rumit, “Tapi lain kali kamu juga harus bisa jaga diri sendiri ya?”
“Yes, maam…” Vena tersenyum kocak, tapi ia juga menatap Harry penasaran, dan seolah mengerti apa yang tengah berkecamuk dalam kepala Vena, Harry tersenyum sambil mengusap lembut rambutnya.
“Nggak ada maksud lain kok… aku cuma mastiin aja. Ya, cuma mastiin aja!”

Malamnya Vena terserang demam tinggi. Suhu badannya panas lagi. Sejak sore tadi, begitu ia membaringkan badannya, ia nggak sadarkan diri. Dan diantara tidur dan terjaga ia terus menggumamkan satu nama.
“Pa, lebih baik Vena dibawa ke rumah sakit aja.” Ujar mama dengan nada cemas, sedari tadi ia nggak beranjak dari sisi putrinya.
“Tenang, Ma. Papa udah panggil dr. Ryan, jadi kita tunggu dulu sampai dia datang…” Papa tampak berusaha menenangkan istrinya.
Tapi Pa, suhu badan Vena nggak turun-turun dari tadi. Mama takut dia kenapa-kenapa…”
“Ma, kita denger dulu apa kata dr. ryan. Baru kita pikirkan lagi gimana baiknya…”
Namun, begitu Vena membuka mata keesokan  harinya ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang bernuansa putih. Kamar itu langsung dikenalinya sebagai ruang perawatan rumah sakit yang pernah ditinggalinya beberapa waktu lalu.
Samar-samar Vena melihat mama yang duduk terkantuk-kantuk dikursi sebelah tempat tidurnya.
“Ma…” Panggil Vena pelan.
Mama tersentak, lalu dengan gembira mendekatkan diri pada putri semata wayangnya. “Vena, kamu udah bangun, Nak? Syukurlah! Semalaman kamu nggak sadarkan diri. Mama sama papa sangat khawatir….”
“Harry mana, Ma?” Tanya Vena tak menghiraukan ucapan mamanya barusan.
“Sayang, kamu nggak boleh begitu…”
“Harry, Ma! Harry mana???”
“Vena…”
“Ma, Vena mau ketemu Harry! Tolong panggilin dia, Ma! Tolong Vena…!” Teriak Vena histeris sambil berusaha turun dari tempat tidurnya, tak di hiraukannya usaha mama yang berusaha menahannya.
“Vena! Tetap disana, jangan kemana-mana! Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat.” Perintah papa tegas. Beliau masih diambang pintu, baru kembali dari membeli sarapan.
“Pa, Vena nggak mau kemana-mana kok, Vena cuma mau manggil Harry. Dia ada diluar kan, Pa? Ya, pasti semalaman dia ikut jagain vena…”
“Vena!!”
Harry, Pa! Kasihan dia, tidur diluar semalaman pasti nggak enak. Vena cuma mau ngajakin dia sarapan…”
“Harry udah lama meninggal, Vena! Kamu tahu pasti hal itu dan kamu harus belajar menerimanya!!”
“Nggak! Papa pasti salah! Harry masih hidup kok… kemarin aja dia nemenin Vena belanja, kemarin dulu juga nganter-jemput Vena sekolah!”
“Vena, dia itu cuma hidup dalam pikiran kamu! Khayalan kamu!!”
Vena terhenyak mendengar ucapan papanya, ia terduduk lemas. Bagaimana mungkin sosok yang begitu  nyata kemarin itu hanya hasil imajinasinya?? Vena menggeleng-gelengkan kepalanya sekuat tenaga berusaha menyangkal, bukan menyangkal ucapan papanya melainkan berusaha menyangkal kenyataan. Kenyataan yang akhirnya berhasil diingatnya. Yeah, inilah jawaban dari semua perasaan hampa yang selama ini dipertanyakannya. Vena pun mulai terisak.
Papa mendekat, lalu membelainya dengan lembut. “Maaf Vena, mungkin ucapan papa terlalu keras, tapi kamu harus tahu nggak ada sedikitpun niat papa buat nyakitin kamu. Papa cuma ingin kamu sembuh, dan dokter bilang satu-satunya jalan kamu harus realistis. Kamu nggak boleh terus-terusan begini. Kamu nggak bisa selamanya hidup dalam kenangan akan Harry. Cepat atau lambat kamu harus bisa menerimanya, itu juga supaya Harry tenang disana…” Semua terdiam.
“Sayang, sekarang kamu istirahat, ya?” Mama tersenyum lembut lalu menuntun Vena yang masih tersedu kembali ke tempat tidurnya. “Kamu tenang aja, saat-saat yang paling buruk udah lewat. Mama dan papa ada disini, jagain kamu….”

Semua yang ada didunia ini adalah milik Sang Pencipta dan suatu saat nanti pasti kembali pada-Nya. Apapun itu, siapapun dia, suatu saat pasti kembali ke asalnya. Nggak ada yang tahu kapan waktunya dan nggak akan ada yang bisa menolak jika sudah tiba waktunya. Manusia emang nggak bisa memilih kapan dia akan mati, manusia cuma bisa menentukan bagaimana ia akan hidup.
Sekarang ini ingatan Vena sudah kembali sepenuhnya. Ia ingat tentang kecelakaan yang ia alami, dan ia juga ingat bagaimana peristiwa beberapa bulan yang lalu itu merenggut Harry.
Terkadang Vena menyalahkan diri sendiri, menyalahkan diri karena nggak bisa berbuat apa-apa untuk menahan Harry, terlebih kepergian itu terjadi begitu saja, terjadi didepan matanya. Kadang ia juga merasa bersalah kenapa harus Harry? Kenapa bukan dia saja?? Untunglah papa dan mama tak henti-hentinya memberikan hiburan dan dukungan bahwa hidup bukan cuma untuk hari ini, bahwa hidup terlalu berharga untuk dibuang sia-sia. Hanya saja Vena belum merasa siap kehilangan, itulah sebabnya Harry tetap hidup dalam pikirannya. Para psikiater yang beberapa bulan ini menangani Vena mengatakan hal ini disebabkan oleh trauma. Trauma mendalam yang menyebabkan penyangkalan terhadap hal-hal yang menyakitkan.
Yeah, perlahan tapi pasti setelah beberapa hari dirawat dirumah sakit kondisi Vena berangsur pulih. Ia mulai berani berfikir tentang hari-hari yang akan datang. Hari-hari itu kini bagai terbentang dihadapannya, menunggu ia mulai menapakinya. Dan sekali lagi Vena menatap kedua orang tuanya yang dalam setiap do’a bahkan dalam senyum terus memberinya kekuatan.
Harry emang sudah lama pergi, justru Vena-lah yang bersalah karena berusaha menahannya dengan bertahan hidup dalam dunia maya. Yeah, Harry benar-benar udah pergi sejak berbulan-bulan yang lalu. Tapi sekali lagi bagi Vena ia nggak pernah mati. Ia selalu ada dan ingin Vena bahagia. Ia pasti ingin Vena terus melanjutkan hidupnya dengan ataupun tanpa kehadirannya.
“Sore Om, Tante…kita mau jenguk Vena…”
Tiba-tiba pintu ruang perawatan Vena terbuka dan Sania, Shinta, serta Tyo berdiri disana.
“Oh, ayo masuk….. Wah, makasih loh udah pada datang. Vena pasti seneng!” Sambut mama penuh sukacita.
“Kalo gitu Ma, kita tunggu diluar saja. Vena pasti kangen sama temen-temennya.” Timpal papa ramah.
Sepeninggal mereka, Vena menatap lekat ketiga temannya. Setelah berbulan-bulan ini rasanya baru kali ini ia benar-benar merasakan kehadiran mereka. Selama ini ia terbenam sendiri dalam dunianya.
“Ven, cepet sembuh ya, biar kita bisa kuliah sama-sama lagi….” Ujar Sania lembut.
“Yo’i, Ven…nggak ada loe nggak rame!” Celetuk Shinta menirukan slogan sebuah iklan.
“Hehe…thanks banget, ya!” Seru Vena ceria, “Gue seneng kalian datang, soalnya kelamaan di rumah sakit nggak enak, gue udah mulai ngerasa kesepian!”  
Semua terdiam mendengar ucapan Vena. Mereka tahu semenjak ditinggal Harry, Vena selalu merasa sendiri, dan menyadari kekakuan suasana yang tiba-tiba, Vena kemudian tertawa.
“Kalian tenang aja, gue udah nggak sableng lagi, kok! Gue…gue udah bisa menerima kepergian dia….”
“Ven, kok ngomongnya kayak gitu sih?!!” Protes Sania sama Shinta yang ( dasar kembar ) bawaannya kompak melulu!
I will survive….” Vena tersenyum meyakinkan.
“Yeah, welcome to the real world, Vena….” Ucap Tyo sambil tersenyum tulus. Ucapannya tadi walaupun terdengar sederhana namun sangat besar maknanya bagi Vena.

Beberapa bulan kemudian disuatu malam yang cerah, Vena tengah sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Namun tiba-tiba jari-jarinya yang menari lincah diatas keyboard berhenti, tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya tak sendiri. Vena menoleh dan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Harry ada disana, berdiri tersenyum menatapnya!
Sesaat Vena terpana, ia menatap penuh haru wajah itu. Wajah yang nggak pernah hilang dari hatinya. Wajah dari seseorang yang selamanya menempati posisi tersendiri dan tak akan pernah terganti selama hidupnya.
“Vena, aku cuma pengen kamu tahu kalo rasa sayangku akan selalu menyertai kamu….”
“Harry…” Vena tanpa sadar mengulurkan tangan, mencoba meraih sosok bercahaya dihadapannya, tapi saat itu juga ia tersadar, “Nggak mungkin! Aku pasti berhalusinasi lagi. Nggak boleh!” Vena pun menyentakkan tangannya menjauh, memalingkan muka seketika, “Nggak boleh lagi, Vena. Dia itu cuma khayalan. Harry udah nggak ada. Bener-bener udah nggak ada!!” Teriaknya pada diri sendiri.
“Vena, aku datang cuma mau mastiin kalo kamu baik-baik aja, dan melihat kamu yang sekarang ini aku lega…”
Mati-matian Vena berusaha mengacuhkan suara yang sebenarnya jauh didalam hati begitu dirindukannya. Ya, dia harus sembuh dan satu-satunya jalan adalah dengan terus menerima kenyataan sepahit apapun itu.
Tuhan, kalau dia cuma bayangan kenapa bisa terasa begitu dekat? Begitu nyata??
Namun Vena tetap memalingkan wajahnya, bahkan ia memejamkan mata dan menutup kedua telinganya,
Semenit…
Dua menit…
Tiga menit….
Perlahan Vena membuka mata dan menghela napas lega. Yeah, yang tadi itu benar-benar Cuma khayalannya. Vena terus meyakinkan diri dan tetap berpikiran begitu hingga keesokan paginya, keesokan pagi ketika ia membuka mata dan mendapati sebuah toples kecil berisi ribuan origami dari kertas warna-warni tergeletak disebelah bantalnya.

2 komentar:

Citra Apsara mengatakan...

Jadi itu cuman bayangan?

Btw, sekarang udah kuliah?
Berarti aku manggilnya eonni dong?
Boleh aku manggil eonni? :))

KYUNEE mengatakan...

Sekarang malah udah kerja, say.
hihihi mau manggil eonni blh ^^